Resensi Buku Habibie,
Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi,Penulis: Bacharuddin Jusuf HabibiePenerbit: THC Mandiri, Jakarta, September 2006, vi + 549 halamanMasih dengan kehangatannya yang khas, Prof. Dr. Bacharuddin Jusuf (B.J.) Habibie mengundang sejumlah wartawan senior ke kediamannya di Patra Kuningan, Jakarta, Sabtu siang lalu. Didampingi istrinya, Ainun Habibie, presiden ketiga RI itu tampak sehat dan bersemangat menyapa para tamu. Rupanya, siang itu Habibie, pria kelahiran Parepare, 25 Juni 1936, punya gawe memperkenalkan memoarnya.B.J. Habibie mengaku menulis sendiri memoarnya. "Semua berdasarkan catatan yang ada pada saya. Tak ada hal yang saya tulis berdasarkan katanya... katanya," ujar ayah dua putra itu.
Fokusnya adalah bagaimana ia mengambil peran di saat-saat genting menjelang peralihan kekuasaan 1998 dan bagaimana pula ia mengemban misi selaku presiden ketiga RI.Memoar itu terbit tujuh tahun setelah ia melepas jabatan presiden dan ketika usianya memasuki 70 tahun. Ia menunggu gejolak mereda hingga memoarnya tidak perlu memantik kontroversi politik. Dengan begitu, apa yang ia ungkapkan bisa diterima dengan pikiran lebih jernih.Silaturahmi yang PutusHabibie memulai memoarnya dengan membuka catatan hariannya pada 20 Mei 1998. Ia kaget ketika pukul 10 malam menerima telepon dari sekretaris kabinet yang memberitahu bahwa Presiden Soeharto akan mundur dari jabatan esok harinya. Padahal, malam sebelumnya, ia bertemu Pak Harto di Cendana, membahas susunan kabinet baru yang sedianya diumumkan pada 23 Mei di Istana Negara, di depan pimpinan MPR/DPR.Rupanya, situasi itu berubah cepat.
Pengunduran diri Pak Harto di luar rencana itu sendiri menyisakan pertanyaan di benak Habibie. Apa sebenarnya yang dikehendaki Pak Harto? Apakah ia diharapkan juga undur diri, mengingat pernyataan di depan sejumlah tokoh masyarakat pada 19 Mei, Pak Harto terkesan meragukan kemampuannya?Yang pasti, tali silaturahminya dengan Pak Harto, orang yang dihormatinya itu, terputus sejak 21 Mei 1998. Hanya sekali komunikasi terjalin. Itu pun melalui telepon, yakni 8 Juni 1998 di hari ulang tahun ke-77 Pak Harto. Lewat berbagai jalur, ia berkali-kali berusaha menemui mantan orang nomor satu di Indonesia itu, tapi hasilnya nihil. Malah, ketika Pak Harto terserang stroke pertama, September 1999, dia tak diperkenankan menjenguk oleh para dokter yang merawat Pak Harto.
Mengenai hal itu, Habibie menulis, "... pertanyaan yang tetap tak terjawab sampai sekarang ini ialah, mengapa Pak Harto tidak bersedia bertemu atau berkomunikasi dengan saya sampai saat ini? Menghadapi kenyataan sikap Pak Harto yang seolah 'misterius' itu, saya yakin bahwa Pak Harto punya alasan tersendiri dan mungkin beranggapan sebaiknya biarlah saya tidak mengetahuinya."Yang lebih menyakitkan, menurut Habibie, adalah sikap Pak Harto pada 21 Mei pagi. Ketika itu, ia telah dijanjikan bertemu.Namun, saat ia tiba di istana, protokol telah mengagendakan pertemuan pertama Pak Harto dengan pejabat negara lain. Habibie kecewa. Tapi ia hanya bisa menunggu, meski merasa kecewa, terhina, dan merasa diperlakukan tidak adil. Karena lama tak dipanggil, ia memberanikan diri menuju Ruang Jepara. "Namun, baru saja saya berada di depan pintu, tiba-tiba pintu terbuka, lalu protokol mengumumkan bahwa presiden akan memasuki ruang upacara," tulisnya.
Habibie juga tercengang, Pak Harto melewatinya begitu saja tanpa sapaan apa pun --hal yang disebut melecehkan keberadaannya di depan semua yang hadir. "Betapasedih perasaan saya saat itu. Saya hanya melangkah ke ruang upacara mendampingi Presiden Soeharto, seseorang yang saya sangat hormati, cintai, dan kagumi, yang ternyata menganggap saya seperti tidak ada," tulis dia lagi.Pemilu 48 PartaiSeperti dicatat dalam sejarah, pagi itu Presiden Soeharto menyatakan mundur, dan Habibie diambil sumpahnya sebagai presiden baru. Segera setelah iitu, berbagai pernyataan negatif tentang kepemimpinannya bermunculan. Bukan saja dari dalam, juga dari luar negeri. Pemberitaan pers yang mengutip pernyataan tokoh-tokoh politik yang berseberangan dengannya kerap dirasakannya menyakitkan hati.
Tak kurang dari tokoh Lee Kuan Yew, Menteri Senior Singapura, secara terbuka meragukan kemampuannya. Dari dalam negeri, sejumlah tokoh politik senior dan purnawirawan ABRI yang tergabung dalam Barisan Nasional bahkan disebut seperti melakukan character assassination atas dirinya. Kelompok itu, tulisnya, dipelopori Letjen (purnawirawan) Kemal Idris dan Rachmat Witoelar.Habibie menghadapi berbagai pernyataan minor itu dengan lapang dada. Habibie punya pendirian sendiri yang ia pegang teguh. "Saya berpendapat bahwa berpolemik dengan mereka yang sehaluan dengan Senior Minister Lee Kuan Yew akan lebih merugikan bangsa dan negara.
Satu-satunya cara menghadapinya adalah dengan karya nyata yang membuktikan bahwa mereka keliru," tulis Habibie pula.Belakangan, Lee Kuan Yew meralat sikapnya. Itu diketahui Habibie dari surat yang dilayangkan sang menteri senior itu lewat Menteri Negara BUMN Tanri Abeng. Lee mengucapkan selamat atas keberhasilan B.J. Habibie menghentikan jatuh bebasnya mata uang rupiah terhadap dolar dan kemampuan pemerintahannya menekan inflasi.Dalam buku ini pun terungkap sikap Habibie saat menghadapi tekanan dari berbagai pihak, baik politisi maupun kalangan militer. Ia, misalnya, pernah didesak agar menggelar pemilihan umum dalam waktu tiga bulan. Habibie menolak dengan pendirian, tak adil bila pemilu digelar sebelum rakyat diberi kesempatan membentuk partai-partai yang akan membawa aspirasi dan wawasan baru.
Habibie tegas menjawab bahwa pemilu baru bisa dilakukan satu tahun ke depan. Pembentukan partai-partai baru membutuhkan waktu. Demikian pula upaya untuk memasyarakatkan aspirasi dan wawasannya. Seperti diketahui, Pemilihan Umum 1999 kemudian diikuti tak kurang dari 48 partai.Pemilihan umum multipartai memang menjadi agenda politik yang dirancang Habibie sejak malam hari setelah dilantik menjadi presiden. Ia begitu sadar bahwa keran demokrasi harus dibuka lebar-lebar. Kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berunjuk rasa harus segera dilaksanakan. Itu salah satu dari 11 butir pemikirannya pada malam itu.Ketika menyusun kabinet pada 22 Mei, ia menerima surat dari Jenderal Besar A.H. Nasution. Dalam surat yang dibawa dua perwira tinggi Angkatan Darat itu, Nasution menyarankan agar Habibie mengangkat Jenderal Subagyo H.S. menjadi Panglima ABRI (Pangab) dan Letjen Prabowo Subianto sebagai KSAD.Tapi Habibie bergeming. Ia tetap mempertahankan Jenderal Wiranto di posisi Pangab.Ihwal Wiranto, Habibie tak menyembunyikan kesan baiknya terhadap jenderal ini. Ia menilai Wiranto sebagai sosok yang beretika dan bisa dipercaya. Kesan itu muncul kuat saat Wiranto secara terbuka memperlihatkan instruksi presiden inpres yang diterimanya dari Pak Harto sebelum lengser.Isinya, memberi kewenangan kepada jenderal itu untuk bertindak dalam keadaan darurat. Ya, sebut saja semacam Supersemar seperti yang diterima Pak Harto dahulu.
Habibie pun menyuruh Wiranto menyimpan saja dokumen itu. Ia menilai, bisa saja Wiranto mengerahkan pasukan untuk merebut kekuasaan, tapi itu tak dilakukannya.Yang tak kalah menarik adalah uraian Habibie yang tampak meluruskan isu-isu seputar "ancaman" Prabowo yang sempat berkembang di masyarakat. Menurut kabar burung yang beredar, Prabowo sambil membawa senjata mendatangi Habibie untuk meminta jabatan Pangab. Ternyata, isu itu tidak benar sama sekali.Habibie bertutur, pada pagi hari 22 Mei, ia mendapat kabar tentang adanya gerakan pasukan Kostrad ke Jakarta. Ia menilai, pengerahan pasukan ini berada di luar pengetahuan dan koordinasi Pangab. Lalu ia meminta Wiranto segera mengganti Pangkostrad, yang ketika itu dijabat Prabowo, hari itu juga.
Rupanya, Prabowo tidak bisa menerima pencopotan dirinya. Ia pun datang ke istana dan menemui Habibie setelah makan siang. Menurut Habibie, Prabowo sama sekali tak membawa senjata. Dalam dialog itu terungkap, Prabowo ternyata berniat mengamankan presiden dan meminta pencopotannya diralat. Habibie bertahan pada pendiriannya. Ia juga seperti memaklumi sikap kritis Prabowo yang dinilainya dibesarkan dalam lingkungan intelektual dan rasional.Habibie mengungkap pula bagaimana lobinya kepada Pemerintah Jerman sangat membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Terutama kesediaan Kanselir Helmut Kohl mengutus pakar bank sentral Jerman untuk ikut membenahi perangkat lunak Bank Indonesia. Setidaknya, ia menyebut peran dua nama: Helmut Schlesinger dan Wolfgang Kartte.
Bagaimanapun, buku ini memberi banyak informasi tentang apa yang dilakukan Habibie selama menjadi orang nomor satu di negeri ini. Banyak terobosan yang dilakukannya. Begitu pula tampak sikapnya sebagai seorang demokrat yang memelopori pembukaan keran demokratisasi bagi bangsa ini. "Sebagai pemimpin, kita baru bisa disebut berhasil kalau generasi sesudah kita berkarya lebih baik dari kita," ujarnya ketika mengantar pelepasan memoarnya.
Erwin Y. Salim[Buku, Gatra Edisi 45 Beredar Kamis, 21 September 2006]
source : gatra
Menjelang Ramadhan,
Mengapa Harus Minta Maaf ?
SEORANG ibu, sebut saja Hj. Ise, merasa terkejut ketika anak dan cucunya meminta maaf. "Bu, maafin ya saya sering berbuat kurang baik kepada Ibu. Sebelum Ramadan ini saya ingin agar dosa diampuni dan hati menjadi tenang," kata seorang anaknya.
MEMINTA maaf sebelum Ramadan merupakan perbuatan baik. Namun, tidak berarti permintaan maaf harus menunggu menjelang bulan suci.*HARRY SURJANA/"PR"
Mendapat pernyataan maaf seperti itu, Hj. Ise malah bingung. "Lho, apa-apaan ini. Mohon maaf kan biasanya pas Idulfitri, kok sekarang sudah meminta maaf. Tapi, Ibu maafin deh," ujarnya.
Kebingungan yang sama juga dialami "Hj. Ise yang lain". Bahkan, di zaman penuh teknologi informasi ini beberapa hari sebelum Ramadan sudah beredar pesan pendek (SMS) berisi permohonan maaf. Tradisi baru ini baru terasa dalam beberapa tahun terakhir, padahal sebelumnya tradisi meminta maaf terfokus kepada Lebaran/Idulfitri.
Menurut Ketua Perguruan Darul Hikam, Ir. H. D. Sodik Mudjahid, permohonan maaf sebelum Ramadan merujuk kepada sebuah hadis Rasulullah. Hadis itu lengkapnya adalah "Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada suatu salat Jumat (dalam bulan Sya'ban), Beliau mengatakan amin sampai tiga kali, dan para sahabat merasa terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan amin. Tapi para sahabat bingung mengapa Rasullullah berkata amin sampai tiga kali. Ketika selesai salat Jumat, para sahabat bertanya kepada Rasullullah".
Rasulullah menjelaskan ketika aku sedang berkhutbah datang Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah amin-kan doaku ini. Doa Jibril itu adalah Ya Allah tolong abaikan puasa umat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri; dan tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya. Maka Rasul pun mengatakan amin sebanyak 3 kali".
Menurut Ali Anwar, hadis itu terdapat dalam kitab "Sifat Puasa Nabi saw" yang ditulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaly dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. "Namun setelah diperhatikan hadis tersebut, ternyata redaksi dan maksudnya jauh berbeda," kata Sodik, Komisaris Qiblat Tour.
Hadis itu lengkapnya, Dari Abu Hurairah Rasulullah pernah naik mimbar kemudian berkata "amin, amin, amin". Sahabat bertanya,'Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan amin, amin, amin?' Beliau bersabda,'Artinya : Sesungguhnya Jibril datang kepadaku, dia berkata, barangsiapa yang mendapati bulan Ramadan tapi tidak diampuni dosanya, maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan amin, maka aku pun mengucapkan amin...." Hadis tersebut riwayat Ibnu Khuzaimah dan Ahmad serta Al-Baihaqi dari jalan Abu Hurairah. Hadis ini sahih asalnya terdapat dalam Sahih Muslim Bab 4 halaman 1978," katanya.
Hadis yang lebih lengkap dari buku "Birrul Walidain" oleh Ustaz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, yang berbunyi Nabi naik ke atas mimbar kemudian berkata, amin, amin, amin. Para sahabat bertanya, 'Kenapa engkau berkata amin, amin, amin, Ya Rasulullah?' Nabi bersabda, 'Telah datang malaikat Jibril dan ia berkata, Hai Muhammad celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namun dia tidak bersalawat kepadamu dan katakanlah amin, maka kukatakan amin. Lalu, Jibril berkata lagi, 'Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadan tetapi keluar dari Ramadan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin, maka aku berkata amin. Kemudian Jibril berkata lagi, celaka seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin, maka kukatakan amin".
"Kedua hadis di atas tidak ada hubungan dengan keharusan bermaafan sebelum puasa Ramadan. Meminta maaf dan memaafkan seseorang dapat dilakukan tiap waktu dan tidak ada tuntunan dikumpulkan dulu dan menunggu sampai menjelang bulan Ramadan," ujarnya.
Wakil Katib Syuriah PC NU Kota Bandung, H. Lukman Hakim mengatakan, meminta maaf sebelum Ramadan merupakan perbuatan baik yang perlu dihormati. "Tapi, jangan sampai meminta maaf sebatas menjelang Ramadan atau bermaafan saat Idulfitri. Kalau melakukan dosa kepada sesama manusia jauh lebih baik langsung meminta maaf," ujarnya.
Mempercepat permohonan maaf, kata Lukman, karena manusia tidak tahu waktu yang pasti meninggal dunia. "Apakah kita tahu kalau besok masih diberi kehidupan oleh Allah sehingga menunggu Ramadan atau Idul Fitri untuk meminta maaf?" ujarnya.
Sikap memaafkan, menurut K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), merupakan salah satu cerminan akhlak yang mulia. Pemaaf atau mudah memaafkan, jauh lebih maslahat daripada menunda-nunda memaafkan.
"Bila ada rekan yang menghina kita, segeralah memaafkan kesalahannya. Karena, memaafkan itu adalah bagian dari dakwah kita. Berikanlah keteladanan kepada orang lain untuk berbuat baik, memaafkan atau membuka pintu maaf selebar-lebarnya walau orang yang berbuat salah itu belum minta maaf," ujar Aa Gym.
Orang pemaaf, cenderung hatinya merasa nyaman. Sebaliknya, pendendam atau tidak pemaaf, hatinya senantiasa gelisah dan resah. Apabila bertemu dengan orang yang berbuat salah, orang pemaaf akan mudah tersenyum dan hatinya lapang.
"Pendendam atau orang yang sulit memberikan maaf, kerapkali jika bertemu dengan lawannya akan berwajah murung. Hatinya tidak nyaman, dan sulit tersenyum. Sementara senyum adalah sedekah yang paling mudah dan patut dilakukan seorang Muslim," tutur Aa Gym.
(source : pikiran rakyat)
Pidato yang Menghebohkan itu
Berikut ini naskah pidato Ilmiah dari Paus Benediktus dari bahasa asli (bahasa Jerman) yang diterjemahkan oleh Romo BS Mardi. Pidato yang disampaikan di sebuah Universitas di Kota Bavaria jerman pada tanggal 12 September 2006 ini mengundang kontroversi, dan menyebakan kemarahan ummat Islam di seluruh dunia.Berikut, terjemahan lengkap pidato tersebut,Bagiku merupakan saat mengharukan, bahwa saya berdiri lagi di mimbar Universitas ini dan sekali lagi boleh memberikan kuliah. Dalam pada itu pikiranku kembali ke tahun-tahun, ketika saya menerima tugas sebagai guru akademis di Universitas Bonn setelah suatu kurun waktu indah di Sekolah Tinggi Freising. Waktu itu ? 1959 ? masih jaman tata Universitas lama. Untuk setiap mata kuliah tidak ada asisten atau sekretaris: tetapi untungnya malah ada perjumpaan yang amat langsung dengan mahasiswa dan terutama juga antara para Profesor satu sama lain. Di ruang dosen kami dapat ketemu sebelum atau sesudah kuliah. Kontak antara ahli sejarah, filsuf, filolog dan tentu saja juga antara para teolog dari kedua fakultas teologi (Protestan dan Katolik) sangat akrab. Tiap semester ada Hari Akademi: pada saat itu Profesor dari semua fakultas memperkenalkan diri kepada para mahasiswa seluruh Universitas dan dengan demikian menjadi mungkinlah untuk mengalami Universitas benar-benar. Bahwa kami (dengan semua spesialisasinya kadang kala membuat kami tidak dapat bicara satu sama lain), toh merupakan satu kesatuan dan semuanya bekerja dengan satu akal budi dengan aneka dimensinya serta sama-sama mengalami pertanggungjawaban penggunaan akal budi secara benar. Universitas juga bangga dengan kedua fakultas teologinya (Protestan dan Katolik). Jelas, bahwa kedua fakultas itu, dengan mengajukan pertanyaan rasional kepada iman, yang perlu agar menjadi bagian dari seluruh 'Universitas scientiarum', pun kalau imannya tidak dapat sama, mendorong para teolog untuk sama-sama menggunakan akal budi.
Kesatuan batin dalam dunia akal budi itu tidak juga terganggu, tatkala pernah terdengar, katanya ada kolega dosen yang berucap: di Universitas kita katanya ada hal aneh, yaitu bahwa ada 2 fakultas yang mempelajari 'sesuatu yang tidak ada' (yaitu Allah). Bahwa di tengah sikap skepsis seperti ini tetap perlu dan rasional saja, mengajukan pertanyaan secara rasional tentang Allah dan melakukannya dalam kaitan dengan Tradisi iman katolik, tidaklah dipermasalahkan di seluruh Universitas.
Semua itu muncul dalam kesadaranku lagi, ketika belum lama ini saya membaca bagian dialog yang diterbitkan oleh Prof Th. Khoury (Muenster): di situ: dialognya dari tahun 1391 di suatu barak musim dingin dekat Ankara antara Kaisar terpelajar Manuel II Palaeologos dengan sang bijak dari Persia mengenai agama kristiani dan Islam dan mengupas soal kebenaran keduanya. Kaisar mungkin menuliskan dialog itu saat pengepungan Konstantinopel antara 1394 dan 1402 (maka ia menguraikan pendiriannya sendiri jauh lebih rinci daripada jawab sang ahli dari Persia.) Dialog itu mencakup seluruh jaringan iman dalam Alkitab dan Al Qur'an serta terutama berkisar tentang citra Allah dan gambaran manusia, tetapi juga tentu saja lagi dan lagi mengenai hubungan antara ketiga Kitab Hukum Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan Al Qur'an.
Dalam kuliah ini saya hanya akan menyebut satu butir (yang juga tidak merupakan inti dialog itu): satu butir yang menarik perhatian saya dalam kaitan dengan tema "Iman dan Akal Budi" dan dapat bermanfaat untuk menjadi pangkal pemikiran saya.
Dalam buku yang diterbitkan Prof Khoury itu pada lingkaran diskusi yang ketujuh, Kaisar sampai pada tema Jihad (Perang Suci). Kaisar pasti tahu, bahwa dalam Surah 2, 256 dikatakan mengenai tiadanya paksaan untuk urusan iman ? itu satu di antara Surah-surah pertama dari masa, ketika Muhammad sendiri dalam kondisi lemah dan terancam. Kaisar tentu tahu juga akan yang tertulis dalam Al Qur'an ? kelak tersusunnya ? ketentuan mengenai Perang Suci. Tanpa mau masuk ke dalam rinci-rincian, bagaimana hubungan antara umat Ahli Kitab dan Orang Tak Beriman, Kaisar secara mengherankan memakai cara langsung ke dalam pertanyaan utama tentang hubungan antara agama dan kekuasaan kepada rekan bicaranya.
Ia berkata "Tunjukkanlah, apa yang dibawa Muhammad dan Anda hanya akan menemukan yang buruk dan tidak manusiawi, seperti bahwa ia memerintahkan agar iman yang diwartakannya disebarluaskan dengan pedang. Hal itu bertentangan dengan kodrat Allah dan kodrat jiwa". "Allah tidak mencintai darah dan tidak bertindak rasional itu bertentangan dengan hakikat Allah. Iman itu buah jiwa, bukan dari tubuh. Maka siapa yang menyuruh orang untuk beriman, perlu menggunakan argumentasi yang baik dan cara berpikir yang benar, bukan kekuatan dan ancaman. Untuk meyakinkan seseorang yang rasional, perlulah orang bukan tangan atau alat kekerasan atau sesuatu alat, yang dapat mengancamkan kematian". Kalimat yang menentukan dalam argumentasi terhadap pentobatan dengan kekerasan berbunyi: "bertindak tidak secara rasional, itu bertentangan dengan kodrat Allah".
Si penyunting (Th. Khoury) memberi komentar sbb: Bagi Kaisar itu (yang dibesarkan sebagai orang Byzantium dalam filsafat Yunani) kalimat itu sudah jelas. Sebaliknya bagi ajaran Islam, Allah itu mutlak transenden. KehendakNya tidak terikat pada kategori-kategori kita mana pun, termasuk rasionalitas. Untuk itu Khoury mengutip suatu karya dari Islamolog Perancis yang terkenal (R. Arnaldez), yang mengatakan, bahwa Ibn Hazn sampai menyatakan, bahwa Allah tidak dibatasi oleh SabdaNya sendiri dan tak ada yang mewajibkanNya untuk mewahyukan kebenaran. Bila ia menghendaki itu, mestinya bisa menyembah berhala.
Di sini terkuaklah perbedaan cara orang memahami Allah dan dengan demikian juga dalam secara konkret melaksanakan agama, yang sekarang merupakan tantangan langsung bagi kita. Hanya cara Yunanikah utk berpendapat bhw "bertindak tak rasional itu bertentangan dengan hakikat Allah", ataukah itu berlaku selalu dan memang secara hakiki demikian?
Saya pikir, di sini ada nada sama antara apa yang secara Yunani tepat dan apa yang tampak dalam Alkitab mendasari iman akan Allah. Seraya mengubah ayat pertama Kitab Kejadian, Yohannes membukan Prolog Injilnya dengan kata: "Pada awal mula ada Sabda". Itulah yang persis dipakai oleh Kaisar: Allah bertindak dengan Sabda. Sabda itu akal budi dan sekaligus kata ? suatu akal budi, yang kreatif dan dapat mengkomunikasikan diri tetapi memang secara rasional. Dengan demikian Yohannes memberi kata penutup pada paham alkitabiah ttg Allah: di situ semua jalan yang sering sulit dan samar2 mengenai iman alkitabiah sampai di tujuan akhir dan menemukan sintesisnya.
Pada awal mula ada Sabda, dan Sabda adalah Allah: begitulah kata Pengarang Injil. Ketemunya pesan Alkitab dengan pemikiran Yunani tidaklah kebetulan. Visi St. Paulus, (yang tertutup jalannya ke Asia dan yang kemudian melihat wajah orang Macedonia dan mendengarnya memanggilnya utk datang dan menolong ? Kis 16: 6-10) ? visi itu dapat menjadi pengentalan perjumpaan batin antara iman alkitabiah dan pertanyaan hidup pola Yunani.
Sementara itu, perjumpaan seperti itu sesungguhnya sudah lama berlangsung. Nama Allah yang penuh misteri dari Semak Berduri yang terbakar, yang mengkhususkan Allah ini dari banyak nama dan menyebut sebagai Sang Ada adalah penolakan Mitos, sangat analog dengan cara jaman Socrates mengatasi dan melampaui mitos. Proses yang dimulai di Semak Berduri menjadi masak lagi dalam Perjanjian Lama sewaktu Pengungsian: di situ Allah Israel yang tanpa negeri dan tanpa bakti diwartakan sebagai Allah bumi-langit dan diperkenalkan dengan istilah sederhana ? meneruskan kata-di-Semak-Berduri yi "Akulah Yang Ada". Bersama dengan pengenalan baru Allah ini terjadilah suatu pencerahan ttg Dewa2 yang secara merendahkan disebut "buatan manusia" (bdk. Mzm 115).
Demikianlah, pada masa hellenistik, dalam ketegangan tajam kepada para penguasa Yunani, yang mau memaksakan cara hidup dan cara bakti hellenistik, iman alkitabiah bersentuhan dengan segi terbaik pemikiran Yunani dari dalam ? sebagaimana khususnya akan terwujud dalam Sastra Kebijaksanaan. Sekarang kita tahu, bahwa terjemahan Yunani Perjanjian Lama yang terwujud di Alexandria ? Septuaginta ? itu lebih daripada sekedar terjemahan teks Ibrani (pun kalau dinilai sedikit lebih positif): malah merupakan saksi sastra yang mandiri dan langkah penting tersendiri dari Sejarah Perwahyuan: di situ perjumpaan itu terlaksana dengan suatu cara, yang untuk berdirinya agama Kristiani dan persebarannya mempunyai arti yang menentukan.
Pada lapisan terdalam terjadilah pertemuan antara iman dan akal budi, antara pencerahan dan religi. Manuel II telah dapat berkata sungguh dari kedalaman hakikat iman kristiani dan sekaligus dari hakikat budaya Yunaninya, yang menyatu dengan iman: bertindak "tidak bersama Logos" itu bertentangan dengan hakikat Allah. Di sini, demi kejelasan perlu disebutkan bahwa pada akhir Abad Pertengahan berkembang kecenderungan2 dalam teologi, yang merombak sintesis antara Yang Yunani dan Yang Kristiani itu.
Berhadapan dengan yang disebut intelektualisme Agustinus dan Tomas, mulailah Duns Scotus dengan Voluntarisme, yang kemudian sampai mengatakan, bahwa mengenai Allah kita hanya mengenal kehendakNya, voluntas ordinata. Lebih jauh daripadanya, ada kehendak bebas Allah: karena kekuatan itu, Ia sesungguhnya dapat melakukan dan bertindak bertentangan dengan segala yang telah dilakukannya. Di situ terkuaklah pendirian-pendirian, yang dekat dengan Ibn Hazn dan dapat mengarah pada Serba-bebasnya Kehendak Allah, yang malah tidak terikat pada kebenaran dan kebaikan.
Transendensi dan keberbedaan Allah sedemikian dilampaui, sehingga akal budi, prarasa kita akan kebenaran dan kebaikan bukan lagi citra sejati Allah, yang kemampuan dasarNya di balik segala keputusanNya yang nyata itu memang bagi kita tidak terjangkau dan akan tetap tersembunyi. Terhadap hal itu, iman Gereja selalu berpegangan, bahwa antara Allah dengan kita, antara Roh PenciptaNya yang abadi dan akal budi kita yang tercipta sungguh ada analogi nyata: di situ 'ketidak-miripan' secara mutlak lebih besar dari pada kemiripan; namun di situ analogi dan bahasa tidak akan disingkirkan (bdk Lat IV).
Allah tidaklah menjadi lebih ilahi karena kita desak menuju pada Voluntarisme yang murni dan tak terbayangkan. Allah yang sungguh ilahi adalah Allah, yang menunjukkan diri sebagai Logos dan sebagai Logos dengan penuh kasih telah bertindak dan senantiasa bertindak sekarang. Tentu saja cintakasih "mengatasi 'pemahaman' dan karena itu lebih menangkap dari pada sekedar berpikir saja" (bdk Ef 3: 19 ). Namun cinta tetaplah kasih Logos Allah, asal dari ibadat kristiani ... ? ibadat, yang sesuara dengan Sabda Abadi dan dengan akal budi kita (bdk Rom 12:1).
Tindak saling mendekat yang disiratkan di sini, yaitu yang terjadi antara iman alkitabiah dan pertanyaan-pertanyaan filosofis Yunani, bukanlah hanya peristiwa yang menentukan dari sudut keagamaan saja, melainkan juga dari sejarah dunia. Bila kita menangkap perjumpaan ini, tidaklah mengherankan bahwa iman kristiani, memang bermula dan tumbuh di Timur namun toh ternyata memberi meterai yang menentukan secara historis di Eropa. Kita dapat juga mengatakan sebaliknya: perjumpaan itu, yang masih ditambah warisan romawi, telah menciptakan Eropa dan tetap menjadi dasar dari yang secara sebenarnya disebut Eropa. Tesis, yang menyatakan bahwa warisan Yunani yang dimurnikan secara kritis itu merupakan bagian dari iman kristiani, sesungguhnya membawa tuntutan bahwa Yang Kristiani harus dibersihkan dari Yang Yunani: suatu gerakan yang sejak Jaman Baru mempengaruhi refleksi teologis. Bila diperhatikan lebih jauh lagi, dapatlah dicermati adanya 3 gelombang, yang memang berkaitan satu sama lain, tetapi toh jelas terbedakan dasar dan sasarannya. Pembersihan dari sifat Yunani muncul pertama-tama dalam keprihatinan dasar Reformasi abad 16. Para Reformator melihat dari sudut filsafat, dalam tradisi sekolah2 teologis suatu sistematisasi iman tertentu: hal yang asing terhadap iman bertolak dari cara berpikir tertentu. Di situ iman tampil tidak lagi sebagai Sabda yang secara historis hidup, melainkan ditancapkan sebagai sistem filosofis. Sebaliknya 'Sola scriptura' mencari wujud perdana iman, sebagaimana Sabda alkitabiah pada awalnya. Metafisik tampil sebagai masukan dari luar: orang beriman harus membebaskan diri darinya agar dapat menjadi dirinya lagi. Dengan cara yang bagi kaum Reformator tidak terbayangkan radikalnya, Kant telah melangkah jauh dengan mengatakan bahwa ia harus menyingkirkan pikiran, agar dapat memberi tempat kepada iman. Akhirnya ia menempatkan akar iman pada akal budi praktis dan tidak mengaitkannya dengan keseluruhan kenyataan.
Teologi Liberal abad 19-20 membawa gelombang baru dalam program pembersihan sifat2 keyunanian. Bagi mereka, Adolf von Harnack menjadi tokoh utamanya. Pada tahun studi dan masa awal pelayanan akademis saya, program itu sangat tampak dalam Gereja. Pascal membedakan Allah para filsuf dan Allah Abraham, Isak dan Yakub: itu menjadi titik pangkal pemikirannya. Dalam kuliah saya mengawali masa bakti di Bonn (1959) saya telah mencoba mengupas masalah tersebut. Sekarang tidak akan saya telaah lagi. Namun saya sekurang2nya akan secara ringkas mencoba, memperlihatkan hal baru pada gelombang kedua dibanding gelombang pertama. Inti gagasan bagi Harnack rupanya adalah kembali ke Jesus, si manusia dan inti pesan Yesus, yang ada sebelum teologisasi atau helenisasi: pesan dasar itu menyebutkan tingkatan perkembangan sejati kemanusiaan. Katanya Yesus menyisihkan kultus untuk digantikan moral. Ia diketengahkan sebagai bapak pesan moral yang penuh cinta kepada manusia. Sebenarnya pada dasarnya kekristenan disejajarkan dengan akal budi modern: yaitu dengan melepaskannya dari unsur2 filosofis dan teologis, seperti iman akan keilahian Kristus dan Tritunggal. Sejauh itu tafsir historis-kritis atas Alkitab menempatkan teologi dalam universitas: bagi Harnack, teologi secara hakiki historis dan ilmiah. Yang dihasilkannya dengan kritik atas Yesus adalah semacam ungkapan akal budi praktis dan dengan demikian dapat ditempatkan di universitas.
Di latar belakang kita temukan akal budi masa baru yang membatasi diri, sebagaimana ditemukan dalam Kant dan kemudian diradikalkan lagi oleh pemikir filsafat alam. Ringkasnya, paham modern mengenai akal budi ini bersandar pada hasil sintesis antara Platonisme (Cartesianisme) dan Empirisme. Di satu fihak, diandaikan struktur matematik materia (katakanlah rasionalitas batinnya), yang memungkinkan kita dapat memahami dan memakainya. Pengandaian dasar itu bisa disebut unsur platonis dari pemahaman modern tentang alam. Di sisi lain, ada soal tentang dapat berfungsinya alam untuk tujuan kita: kepastian baru kita peroleh kalau dapat dibenarkan atau disangkal dengan eksperimen. Bobot antara keduanya dapat saja berada di salah satu sisi. Seorang pemikir yang sedemikian positivistik seperti Monod telah menyebut diri sebagai seorang Platonis atau Cartesian yang sadar dan yakin. Di sini kita mendapat 2 orientasi dasar bagi permasalahan kita. Hanya bentuk kepastian yang diperoleh dari matematik dan empirik yang memungkinkan orang bicara mengenai sifat ilmiah. Bila mau disebut ilmiah ya harus dapat diukur dengan matematik dan empirik. Maka berusahalah ilmu-ilmu seperti sejarah, psikhologi, sosiologi dan filosofi mendekati tata-kanon keilmuan (positivstik) ini.
Namun, untuk pemikiran kita masih penting bahwa metode ini menyisihkan masalah keallahan dan menyiratkan penilaian bahwa soal itu tidak ilmiah atau hanya pra-ilmiah. Dengan demikian kita ditatapkan pada penyempitan radius Ilmu dan Akal Budi: itu harus dipermasalahkan. Kita akan kembali lagi nanti. Sementara itu harus diperjelas, bahwa dengan cara pandang ini, usaha untuk menjadikan teologi itu ilmu, tinggallah kepingan upaya kecil saja. Kita harus mengatakan lebih lanjut: si manusia sendiri diperkerdil dengan cara pandang itu. Sebab, masalah-masalah yang khas manusiawi, yaitu pertanyaan mengenai dari mana dan ke mana manusia itu, pertanyaan tentang religi dan etos, tidaklah dapat mengambil tempat bersama, yang oleh akal budi dikatakan bernama ilmu dan harus ditaruh di bagian 'subyektif'. Si subyek menentukan dengan pengalamannya, apa yang agaknya dapat disebut religi dan suara hati subyektif menjadi satu-satunya instansi etis terakhir.
Kalau demikian etos dan religi kehilangan kekuatannya membentuk persekutuan dan jatuh pada sifat sewenang-wenang subyektif. Keadaan ini bagi manusia berbahaya: kita melihatnya dalam ancaman patologi religi dan akal budi, yang harus meledak, di mana akal budi disempitkan, sehingga masalah religi dan etos tidak bergandengan lagi. Tidak cukup lagilah usaha-usaha etis dari pengaturan evolusi, psikhologi dan sosiologi. Sebelum saya sampai pada kesimpulan, haruslah saya dengan singkat menyebutkan gelombang ketiga dari pembersihan unsur hellenistik masa kini. Berkaitan dengan perjumpaan banyak kebudayaan, jaman sekarang orang biasa mengatakan, sintesis dengan kebudayaan Yunani yang terlaksana dalam Gereja Perdana, itu kan inkulturasi awal iman kristiani: kita tidak boleh memancangkan kebudayaan lain di situ. Adalah hak kebudayaan lain untuk masuk ke masa sebelum inkulturasi pertama itu: sampai ke pesan awal Perjanjian Baru, untuk berinkulturasi lebih lanjut. Tesis ini tidak keliru, namun terlalu kasar dan kurang akurat. Sebab Perjanjian Baru memang ditulis dalam bahasa Yunani dan di dalamnya bersentuhanlah dengan semangat keyunanian, yang sudah matang pada masa sebelumnya waktu Perjanjian Lama berkembang.
Tentu saja ada lapisan-lapisan dalam proses terjadinya Gereja Perdana, yang tidak dalam semua kebudayaan masuk. Tetapi keputusan-keputusan dasar, yang berkaitan dengan iman dalam pertemuannya dengan akal budi manusia, itu merupakan bagian dari iman sendiri dan perkembangannya. Sekarang kesimpulan akhirnya: Kritik diri atas akal budi modern yang baru dilakukan, tidaklah mencakup pendirian, seakan-akan manusia harus masuk ke balik pencerahan dan meninggalkan masa modern. Besarnya perkembangan budi modern diakui tanpa dikecilkan. Kita semua bersyukur untuk kemungkinan2 besar, yang terbuka bagi manusia dan untuk kemajuan2 bagi umat manusia, yang dianugerahkan bagi kita. Pada dasarnya etos keilmiahan adalah kehendak untuk taat pada kebenaran dan sejauh itu merupakan ungkapan sikap dasar, yang merupakan bagian dari pengambilan keputusan kristiani. Bukan menarik kembali atau kritik negatiflah yang kita maksudkan, melainkan soalnya adalah mengenai perluasan faham tentang akal budi dan pemakaian akal budi. Sebab kita memang bersukacita dengan kemungkinan2 baru, namun kita juga melihat ancaman2 yang terbit dari kemungkinan2 itu dan kita harus mempertanyakan, bagaimana kita dapat mengatasinya. Kita hanya dapat melakukannya, bila akal budi dan iman saling bertemu dengan cara baru; bila kita dapat mengatasi pembatasan diri akal budi atas hal-hal yang dapat dibuktikan keliru dengan eksperimen dan kembali membuka akal budi secara luas lagi.
Dalam arti ini, teologi termasuk tidak hanya sebagai ilmu historis dan manusiawi, melainkan sebagai khas teologis, sebagai pertanyaan akal budi terhadap iman di universitas dan dalam dialognya dengan ilmu2 lain. Hanya dengan demikian kita akan mampu mengadakan dialog sejati antara kebudayaan dan religi, yang amat kita butuhkan. Sejauh ini di dunia barat tersebar pendirian, hanyalah akal budi positivistis dan bentuk2 filosofis yang serupa sajalah yang bersifat universal. Tetapi dari kultur religius dunia justru dikeluarkannya Yang Ilahi dari universalitas akal budi menjadi pelanggaran terhadap keyakinan-keyakinan batin yang terdalam. Akal budi, yang tuli terhadap Yang Ilahi dan Religi yang terdesak bersembunyi dalam subkultur saja, tidaklah mampu mendorong dialog lintas budaya. Sementara itu, saya baru saja mencoba menunjukkan, bagaimana akal budi ilmu alam modern dengan unsur platonis di dalamnya membawa-serta pertanyaan, yang menjangkau melebihi dirinya dan mengatasi kemungkinan2 metodisnya. Akal budi modern sendiri harus menerima kehadiran struktur rasional materi, sebagai saling bertemunya budi manusia dan struktur rasional yang ada dalam alam: di situlah jalan metodisnya harus berkembang. Namun pertanyaan, mengapakah semuanya itu: itu tetap ada dan harus diserahkan oleh ilmu alam kepada tingkat lain dan cara lain manusia berpikir ? kepada filsafat dan teologi. Bagi filsafat dan dengan cara lain untuk teologi, "mendengarkan pengalaman-pengalaman besar dan faham-faham tradisi religius manusia, khususnya iman kristiani, adalah suatu sumber pencerahan, yang menolak segala penyempitan mendengar dan menjawab bisikan alam".
Saya teringat satu kata dari Socrates dalam tulisannya Phaidon. Dalam percakapan-percakapan yang lalu orang sering menyinggung pandangan2 filosofis yang keliru, dan kemudian Socrates berkata: Haruslah difahami, kalau karena jengkel atas sekian banyak kesalahan sepanjang hidupnya orang benci akan segala percakapan tentang Ada dan mencercanya. Namun kalau demikian ia hanya akan melecehkan kebenaran dan mengalami kerugian yang besar. Dunia Barat telah membahayakan akal budi dengan menghindari pertanyaan-pertanyaan mendasar ini dan dapat dengan demikian hanya mengalami kerugian besar. Berani memasuki keluasan akal budi, tidak menolak keagungannya ? itulah program, yang harus dilaksanakan oleh teologi yang memiliki komitmen pada iman alkitabiah dalam perjumpaan dengan masa kini "Bertindak tidak rasional (dengan Logos) itu bertentangan dengan hakikat Allah", itulah inti ucapan Manuel II mengenai citra Allah yang difahaminya sebagai orang kristiani kepada rekan bicaranya sang bijak dari Persia. Dalam Logos yang agung ini, dalam keluasan akal budi ini kami mengundang para rekan bicara kami untuk berdialog. Tugas universitas adalah senantiasa menemukan hal itu.